Hasil Pencarian Untuk Pacar Hadiah Bunga Boneka
Maaf, barangnya tidak ketemu
Coba cek lagi kata pencarianmu.
Wow… Ayam Panggang Pedas Manis perkongsian saudari Marian Zainal ni nampak sangat sedp dan membuka selera. Bahan-bahan yang digunakan untuk memasaknya juga cukup ringkas dan mudah didapati.
Bahan kisar yang digunakan untuk menyalut ayam, boleh disediakan awal dan boleh disejukbekukan jika ada lebihan. Jadi bila-bila masa anda rasa nak makan Ayam Panggang, boleh keluarkan dan lumur sahaja pada ayam. Dah boleh masak.
Selain ayam, rempah ini juga boleh kita gunakan untuk perap daging, ikan, udang, sotong dan juga aneka bebola atau kek ikan. Sesuai sangatlah andai ada buat BBQ Bersama keluarga. Senang nak sediakan bahan untuk bakar-bakar.
Ayam Panggang ini dimasak menggunakan Air Fryer. Tapi jika tiada, boleh sahaja menggunakan ketuhar. Nak lagi mudah? Panggang sahaja menggunakan pemanggang ajib atau arang. Lagi mudah dan cepat. Nak cuba? Jom lihat cara-cara masaknya.
CARA MASAK AYAM PANGGANG PEDAS MANIS YANG SEDAP & MUDAH
1.Bersihkan ayam dan kelar sedikit. Lumurkan dengan garam dan kunyit. Perap 15 minit.
2.Satukan bahan-bahan kisar dan kisar halus. Masukkan dalam periuk dan masak sebentar hingga mendidih. Tutup api.
3.Bakar ayam yang telah diperap dalam air-fryer pada suhu 200C selama 25-30 minit.
4.Sapukan bahan kisar pada ayam. Pastikan sapu secara rata dan bakar lagi selama 10 minit.
5.Jika suka, oleskan madu pada ayam dan bakar lagi selama 3-5 minit.
6.Ayam Panggang pedas manis siap dimasak dan sedia untuk dinikmati.
Kredit resipi & foto: Mariana Zainal
[Sertai Telegram Geng Rasa Share Resipi]
Dapatkan lebih banyak resipi yang mudah, sedap & cepat masak di laman web RASA:
Resipi Ikan Siakap 3 Rasa Cara Orang Thailand Masak
Resipi Daging Masak Merah, Ini Rahsia Masak Sedap Macam Dekat Kedai
Resipi Cucur Bilis Tambah Kucai & Cili Kering Tumbuk, Sangat Sedap!
Resipi Tat Telur Sedap Buat Guna Roti Sandwich
Tonton lebih banyak video masakan mudah & sedap di Dailymotion @Rasa & Youtube @Majalah Rasa Official
WISATA RELIGI MAKAM MAMA SEMPUR
Berkunjung ke makam seorang tokoh penting keagamaan bukan menjadi larangan. Biasanya mereka yang ziarah ke makam, bukan sekadar untuk memanjatkan doa semata. Tapi juga sebagai alarm agar individu tak terpaut pada gemerlap dunia. Jika ingin melakukan ziarah, ada salah satu tokoh penting Islam yang makamnya patut kamu kunjungi. Adalah makam Syekh Tubagus Ahmad Bakri atau dikenal dengan nama Mama Sempur. Makam Mama Sempur lokasinya Desa Sempur Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Mama berasal dari bahasa Sunda yang artinya Rama atau Bapak. Dikalangan masyarakat Jawa Barat, Mama disematkan kepada Ajengan atau Kiai, sehingga sebutannya menjadi Mama Ajengan atau Mama Kiai. Sementara Sempur adalah nama desa. Mama Sempur lahir di Desa Citeko, Kecamatan Plered, Purwakarta pada tahun 1259 Hijriah atau bertepatan pada 1839 sebelum masehi. Dia merupakan putra pertama dari pasangan KH Tubagus Sayida dan Umi. Berdasarkan sejarahnya, Mama Sempur adalah keturunan Rasulullah SAW dari silsilah jalur ayahnya. Dikutip dari laman Nu.or.id, ayah KH Tubagus Sayida yang juga kakek dari Mama Sempur adalah KH. Tubagus Arsyad. Dia seorang Qadi Kerajaan Banten, namun Mama Sempur nampaknya tidak berminat untuk menjadi Qadi Kerajaan Banten menggantikan posisi ayahnya dan dengan berbagai pertimbangan akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan Banten. Makam Mama Sempur Suasana di dekat Makam Mama Sempur Setiap hari, banyak pengunjung yang berziarah ke makam Mama Sempur. Makam itu akan dipadati pengunjung ketika puncak acara haul Mama Sempur pada 28 Juli. Ketika haul digelar, warga sekitar memanfaatkan momen tersebut untuk menjajakan barang dagangan. Mulai dari busana muslim, foto atau poster Mama Sempur, hingga makanan seperti makanan khas sempur kerupuk RO dan selain itu juga masih banyak dagangan yang lainnya, bahkan para pedagang pun bukan hanya warga setempat tapi di luar wilayah Desa Sempur. Akses jalan menuju Makam Mama Sempur itu sangat strategis itu bisa lewat arah Plered atau arah jalan militer Darangdan. Untuk tempat parkir para penziarah yang menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat sudah di sediakan di sekitar jalan utama ke makam mama sempur.
Kejora PagiBUNGA UNTUK IBUKU 21oleh Tien Kumalasari
Wajah Rusmi berubah menjadi garang, seperti singa betina yang ingin melahap mangsanya. Tak berani bicara keras tetapi tetap menunjukkan kekejaman, dia menatap Barno yang dianggapnya ingkar janji.
“Apa kamu mencari mati?”“Mengapa kamu melakukannya dan akhirnya menolak uang ini? Kamu ingin berkhianat, dan bermaksud mencelakai aku dan bu Rusmi?” Baskoro menghardik.Keduanya tak berani berkata keras karena ada dua penjaga di luar pintu.
“Saya berjanji tak akan menyebut nama kalian,” katanya pelan.
“Siapa bisa mempercayai kamu? Kamu berkhianat dan sudah jelas itu akan membuat kami celaka,” lanjut Rusmi.
“Tapi kamu tidak bisa melakukannya. Karena kalau melakukannya, maka keluargamulah yang akan menerima akibatnya. Aku bisa menghabisi mereka,” sambung Baskoro
“Apa … apa yang akan Bapak lakukan?”
“Kamu tidak perlu bertanya. Ketika kamu keluar dari rumah sakit ini, kamu sudah tidak akan bisa lagi menemui keluarga kamu. Tak apa kami dipenjara, tapi kamu akan sengsara, hidup tanpa anak dan istri. Kecuali itu kamu juga akan dipenjara, bukan?” ancam Baskoro dengan mata menyala.
Keduanya sangat takut pada sikap Barno yang berbalik arah. Sebelumnya Barno sudah menerima sejumlah uang, yang mengharuskan Barno melakukan apa yang diperintahkan oleh keduanya.
Mencelakai Raharjo dengan pura-pura terjadi kecelakaan. Barno bersedia. Bahkan rela terluka parah ketika mobil meluncur ke jurang dia sudah melompat keluar dari mobil. Tapi mengingat hati Raharjo yang baik, melihat wajah sendu anak laki-lakinya saat menjenguknya, hati Barno merasa luluh.
Ia sangat menyesal, hanya dengan iming-iming uang dia mau mencelakakan orang baik seperti Raharjo. Membuat putranya yang tampan menjadi anak yatim piatu. Barno masih terbayang-bayang akan wajah itu.
Bekas air mata yang membuat wajahnya sembab, wajah polos yang tampak sengsara. Hati Barno sangat teriris. Ia juga punya anak yang seumuran dengan Wijan. Ia bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang anak ketika kehilangan orang yang dicintainya.
Tidak, ia tak sudi melahap uang kejahatan yang disodorkan untuknya. Sungguh Barno sangat menyesali perbuatannya.
“Hei, mengapa kamu diam?”
“Bu, sungguh saya minta maaf. Saya tidak bisa menerima uang ini. Tapi percayalah bahwa saya tak akan pernah menyebutkan nama ibu, ataupun pak Baskoro.”
Rusmi saling pandang dengan Baskoro.
“Apakah kata-kata kamu bisa dipercaya?”
“Saya tak ingin kehilangan keluarga saya. Saya akan menjaga rahasia ini, dan tidak akan pernah menyebut nama ibu dan pak Baskoro. Saya terima kalau saya harus dipenjara atas kelalaian mengemudi. Saya tidak akan menyebut nama ataupun mengatakan bahwa itu karena atas perintah kalian, sungguh. Saya tak ingin keluarga saya celaka. Tolong percayalah,” kata Barno dengan wajah memelas.
Barno sungguh takut pada ancaman Baskoro. Resiko masuk penjara akan diterimanya, tapi jangan ia memakan uang haram yang disodorkan Rusmi dan Baskoro.
“Baiklah, simpan kembali uangnya Bas. Kita pegang apa yang dikatakan Barno,”
“Tapi kalau sampai kamu melibatkan kami, hm …. kamu tahu sendiri akibatnya,” ancam Baskoro lagi dengan mata bengis.
Barno mengangguk. Dalam hati ia bertekat akan menerima hukuman apapun sebagai hukuman atas niyat jahat yang semula memang dilakukannya. Sekarang dia menyesal, dan itu sudah terlambat, Sesal itu akan menghantui sepanjang hidupnya.
*Wijan masih terduduk lemas ditepi sungai itu. Hujan yang mengguyur tak dirasakannya. Kemudian dia bangkit, berjalan tertatih karena kakinya menginjak lumpur, dan itu berat terasa. Apalagi dia menggendong tas ransel yang dibawanya dari rumah.
Berisi beberapa pakaian dan buku-buku. Ada juga ponsel yang terselip di dalamnya. Beberapa langkah ke depan, ia melihat sesuatu. Wijan mendekat, dan itu adalah sepatu. Sepatu ayahnya.
Hujan mulai reda, tapi gerimis masih mengguyur rintik-rintik. Wijan mendekap sepatu itu. Hanya menemukkan satu kaus kaki dan satu sepatu.
Rupanya memang ayahnya masuk ke sungai ini, entah bagaimana, sebelah sepatunya terlepas, hanyut tersangkut ranting. Hati Wijan serasa teriris-iris.
Selamatkah ayahnya? Di mana sekarang berada? Tiba-tiba Wijan melihat sekelompok orang berdiri di dekat sungai. Siapa mereka? Wijan mendekat.
“Hei, kamu siapa?” tanya salah seorang dari mereka.
Lalu Wijan melihat beberapa orang berpakaian polisi diantara mereka.
“Saya Wijanarko, mencari bapak, katanya lirih.”
“Oh, ini Wijanarko putra pak Raharjo,” teriak beberapa orang bersahutan.
Salah satu diantara mereka mendekat.
“Beberapa diantara kami adalah karyawan pak Raharjo.” kata orang yang mendekati Wijan.
“Nak, kami mencarinya sudah sejauh limabelas kilometer, tapi tidak menemukan pak Raharjo. Barangkali beliau tidak tercebur ke sungai. Mungkin terlempar ke daratan.”
“Ini sepatu dan kaus kaki bapak, saya temukan di sana,” jawab Wijan yang mulai lagi menitikkan air mata.
“Berarti dia memang tercebur ke sungai. Tapi dengan tidak ditemukannya jasad pak Raharjo, bisa jadi kemudian dia selamat dan bisa naik ke daratan,” kata seseorang.
“Nak, lebih baik kamu pulang saja. Kami akan terus mencari ayah kamu, bukan hanya di sungai ini, tapi juga di daratan sekitarnya. Siapa tahu seseorang menolongnya.Wijan mengangguk.
“Nak, bajumu basah kuyup, ayo ikut dan ganti pakaian kamu dengan yang kering, kamu bisa sakit.”
“Saya membawa baju,” kata Wijan sambil menunjuk ransel yang digendongnya.
“Baiklah, ayo aku bantu naik ke atas. Besok kami akan melanjutkan pencarian. Ini sudah sore, sebentar lagi gelap. Tapi kami masih akan ada disekitar tempat ini.”
“Saya akan ikut bersama Bapak.”
“Kamu sudah lelah nak.”
“Tidak, saya akan terus mencarinya.”
Tak ada yang bisa menahannya. Wijan ikut mencari brrsama mereka.Tapi berhari-hari kemudian, tak ada yang bisa menemukan Raharjo. Mereka putus asa, Wijanpun putus asa.
Di hari ke lima, tiba-tiba seseorang mendekatinya. Wijan terkejut, dia adalah pak Rangga yang menyusul setelah diberi tahu bahwa Wijan ada di sana.
“Wijan, kamu ada di sini?”
“Aku minta maaf, baru bisa menemui kamu. Banyak urusan kantor yang harus aku selesaikan, apalagi saat pak Raharjo belum kembali.”
Wijan mengangguk, tapi gurat kesedihan itu terus menyelimuti wajahnya. Pak Rangga memeluknya erat.
“Bagaimanapun kita sudah berusaha. Tapi harapan itu akan tetap ada, kita akan terus berusaha. Hanya saja kamu tidak harus terus-terusan berada di sini. Kami tidak akan membiarkan pak Raharjo hilang begitu saja. Kalau memang pak Raharjo selamat, pasti kita akan bisa menemukannya. Jadi sebaiknya kamu pulang dulu. Bukankah kamu juga harus sekolah? Dan bukankah sekolah itu juga ujud harapan dari bapak kamu?”
Wijan terdiam. Pilu rasanya membayangkan ayahnya benar-benar sudah meninggal, tanpa ditemukan jasadnya. Air matanya bercucuran. Pak Rangga mengusapnya dengan telapak tangan.
“Ayo aku antarkan kamu pulang.”
Tapi Wijan menggelengkan kepalanya. Pulang? Kemanakah dia harus pulang? Ia sudah diusir oleh ibu tiri dan kakak tirinya. Tapi Wijan tak mau mengatakannya kepada pak Rangga. Wijan bukan orang yang suka mengadu atau mengatakan keburukan orang. Dia akan memendamnya sendiri.
“Lalu kamu mau ke mana? Aku mau kembali ke kantor pusat sekarang. Aku bisa mengantarkan kamu, Wijan. Mereka akan terus berusaha, dan akan mengabarkan kepada kamu tentang hasilnya.”
Dipaksapun Wijan tetap tak mau pergi.“Apa kamu tidak memikirkan sekolah kamu? Pasti bapak akan kecewa kalau kamu tidak kembali ke sekolah.”
“Saya akan pulang sendiri.”
Pak Rangga kehabisan akal untuk membujuknya. Bahkan beberapa orang ikut merayu agar Wijan mau pulang bersama pak Rangga. Tapi Wijan tetap tak mau.
“Baiklah, tapi kamu harus pulang ya, dan memikirkan sekolah kamu,” kata pak Rangga sambil memberikan sejumlah uang, dimasukkan ke saku Wijan, tapi Wijan menolaknya.
“Saya masih punya uang.”
“Tidak apa-apa, bawa saja uangnya, barangkali kamu memerlukannya. Itu juga uang bapak kok. Kalau kamu memerlukan sesuatu, kamu bisa menghubungi aku. Ponsel kamu masih ada?”
Wijan mengangguk. Pastilah ponsel itu mati karena berhari-hari didiamkannya saja di dalam ransel.
Nyatanya Wijan belum mau pulang. Ketika semua orang sudah pergi, Wijan duduk di bawah sebuah pohon rindang. Tanah itu basah. Wijan mencari daun pisang untuk alas, agar bajunya tidak basah.Wijan berbaring dengan alas daun pisang. Menatap langit yang menghitam.
Tampaknya sebentar lagi akan turun hujan. Suasana di sekitar mulai gelap. Tapi Wijan tidak peduli. Ia kemudian tertidur karena kelelahan. Berhari-hari ia tidak tidur, hanya makan seadanya , bersama para pencari, yang sekarang sudah tak kelihatan lagi.
Entah berapa lama dia tertidur, ketika tiba-tiba merasa ada seseorang membangunkannya.
“Wijan, hari sudah pagi, apa kamu tidak sekolah?”
Wijan terkejut. Ia melihat ayahnya berdiri di dekatnya. Wijan menubruknya dan menangis tersedu di dadanya.
“Ini sudah siang, jangan sampai kamu terlambat ke sekolah.”
Wijan bangkit, lalu duduk. Udara terang menerangi bumi. Rupanya semalam hujan tidak turun. Di sebelah timur tampak warna kemerahan, menyambut sang matahari yang bersiap menerangi dan menghangatkan bumi.
“Ah, sudah pagi rupanya.”
Wijan mencari-cari, dimana ayahnya? Tak terlihat bayangan sang ayah.
Wijan bangkit, berlarian ke sana kemari.
“Bapak? Bapak di mana?” teriak Wijan.
Tapi yang didengar hanyalah gema suaranya sendiri.
“Bapak? Bukankah tadi Bapak membangunkan aku?”
Wijan jatuh terduduk. Rupanya dia hanya bermimpi. Tapi suara dalam mimpi itu masih bergaung di telinganya.
“Ini sudah siang, jangan sampai kamu terlambat ke sekolah”
Wijan menutup wajahnya dan tersedu dalam kebimbangan.Hanya sekedar mimpi, atau itu adalah ujud harapan ayahnya yang tertuang di dalam mimpinya?Wijan bangkit. Semangat untuk kembali ke sekolah seolah membakar semangatnya.
Tapi Wijan tidak akan kembali ke sekolah itu. Ia teringat Nilam yang pasti akan mencari-carinya. Kalau dia masih disekolahnya, Nilam pasti bisa menemukannya, dan memaksanya pulang. Sejenak rasa rindu pada adik tirinya menyergap perasaannya.
Gadis manja yang teramat menyayanginya. Ada rasa berat untuk berpisah dengannya. Tapi Nilam bukan darah dagingnya. Nilam adalah darah daging ibu tiri yang membencinya.
Wijan mengibaskannya, kemudian ia berjalan meninggalkan tempat itu. Jangan sampai ia terlambat ke sekolah, pesan sang ayah dalam mimpi itu.
Wijan terus melangkah menuju kota, untuk kembali mengurus sekolahnya, sambil terus membisikkan nama ayahnya.
Disebuah mushala, Wijan berhenti. Di sana ditemukannya sebuah kekuatan yang menyalakan keinginannya untuk kembali, tapi bukan kembali ke rumah dimana para penghuninya selalu menindasnya.
Bibik sedang menata kembali barang-barangnya, dimasukkannya ke dalam tas besar. Ia sudah bertekat untuk pergi. Beberapa hari ini ia melihat laki-laki bercambang itu tidur di rumah, dan makan bersama sang nyonya majikan.
Perilakunya sudah seperti sepasang tuan dan nyonya. Bibik merasa jijik. Kesedihan tentang kepergian tuan yang sebenarnya, tak bisa lenyap dari sanubarinya, ditambah kelakuan istrinya yang sangat tidak tahu malu, membuatnya sangat tertekan.
Nilam sudah sembuh, dan besok sudah siap pergi ke sekolah. Tak apa kalau dia meninggalkan rumah itu.Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah depan. Semua orang pergi, hanya tinggal Nilam yang masih berada di rumah. Rupanya sakitnya agak parah, sehingga seminggu kemudian dia baru bisa keluar dari kamar.
“Bibiiiiik!!”Bibik terkejut, teriakan itu terdengar dari arah kamar yang semula ditempati Wijan. Ia segera bergegas menghampiri.
“Ada apa Mbak?”“Mana mas Wijan? Selama aku sakit, dia tak pernah muncul, lihat, ternyata dia sudah pergi. Pakaiannya dibawa, buku-buku dibawa,” kata Nilam sambil menangis.
“Tenang Mbak, jangan menangis begitu.”
“Bagaimana aku tidak menangis? Mas Wijan pergi, aku tidak diberi tahu. Kata bibik sedang ikut mencari bapak, tapi dia pergi dengan membawa pakaiannya. Kenapa aku tidak diberi tahu?”
“Mbak Nilam, memang mas Wijan pergi, sejak mbak Nilam jatuh sakit.”“Kenapa? Kenapa Bik? Aku mau ikut mas Wijan.”“Mbak Nilam jangan begitu. Di sini kan lebih nyaman, rumahnya bagus, dekat sama ibu.”“Aku tidak mau sama ibu, ibu jahat. Ibu bersama si cambang itu di rumah ini, aku benci mereka.”
“Sudahlah, lebih baik sekarang Mbak Nilam istirahat di kamar dulu. Obatnya hanya tinggal sekali ini, sama nanti malam, katanya besok mau sekolah.”“Aku tidak mau, aku mau ikut mas Wijan.”“Jangan begitu Mbak,”“Katakan, mas Wijan ke mana?”
“Mas Wijan diusir sama ibu.” akhirnya bibik berterus terang, membuat Nilam menangis semakin menjadi-jadi.
“Apa? Diusir sama ibu? Kenapa ibu jahat, sekarang kemana perginya mas Wijan? Aku mau ikut.”“Jangan Mbak, nanti ibu marah.”“Aku tidak peduli, aku mau mencari mas Wijan.”
Tiba-tiba Nilam berlari keluar rumah, bibik sangat terkejut. Ia mengejarnya, tapi tubuh bibik yang gemuk menghambat laju langkahnya.
“Mas Satpaaam, mas Satpaam, hentikan mbak Nilam!” teriak bibik.
Tapi Satpam itu rupanya sedang terkantuk-kantuk. Tak sadar apa yang sebenarnya terjadi. Ia membuka matanya lebar-lebar ketika bibik berteriak.
“Mbak Nilam pergi, kejar dia!!”
Satpam itu lari keluar, tapi ia tak melihat siapapun.
*Besok lagi ya. –bersambung–by Tien Kumalasari