Kopi Ngegass Original Herbal Halal – Kopi Penunjang Stamina Pria Dewasa
Kandungan Kopi NgeGass :
Khasiat Kopi NgeGass :
PRIVASI TERJAGA , AMAN DAN RAHASIA TERJAMIN.. HAPPY SHOPPING..
Paylater atau belanja sekarang bayar kemudian menjadi tren pembayaran yang tengah berkembang di masyarakat belakangan ini.
Apalagi, saat ini banyak perusahaan maupun e-commerce yang memberikan pilihan tersebut kepada konsumennya. Tidak hanya platform belanja online seperti Shopee dan Tokopedia serta aplikasi pembelian tiket, Traveloka dan Tiket.com, saat ini perbankan digital juga memberikan kemudahan dengan pilihan pembayaran paylater.
Namun, apakah paylater halal dan bisa digunakan oleh semua orang, apalagi bagi umat Muslim yang hanya mau menggunakan produk sesuai dengan syariat Islam?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perencana Keuangan Andi Nugroho mengatakan halal dan haramnya paylater ditentukan oleh skema atau sistem yang digunakan oleh perusahaan dalam menjalankan kebijakan tersebut.
Menurut Andi, jika pemberi pinjaman atau pembuat paylater memberikan pinjaman tanpa dikenakan bunga saat nasabah membayar, maka bisa dikatakan halal. Sebab, bunga ataupun riba tidak diperbolehkan dalam sistem syariah.
Menurutnya, dalam skema syariah yang digunakan adalah istilah bagi hasil. Artinya, jumlah pinjaman dan pembayaran yang nanti dikembalikan sudah ditetapkan sejak awal.
"Jadi misalnya pinjamannya Rp1 juta gitu ya, kemudian dihitung dan nanti dilunasi jadinya Rp1,5 juta dan ini yang kemudian dicicil tiap bulannya. Yang pasti tidak mengandung unsur bunga ketika pengembaliannya, itu akan menjadi halal," ujar Andy kepada CNNIndonesia.com.
Namun, jika dalam pembayaran atau pencicilannya dikenakan bunga, maka itu akan menjadi haram. Sehingga, halal atau haramnya memang kembali lagi pada sistem yang digunakan oleh pemberi pinjaman.
"Jadi tergantung dari skema ataupun perjanjian di awal ini nanti pengembaliannya seperti apa. Apakah ada mengandung unsur bunga atau tidak," jelasnya.
Andi mengatakan jika umat Muslim ingin lebih tenang dalam menggunakan paylater, maka bisa mencari perusahaan yang sudah berlabel syariah. Sebab, dengan label tersebut, tak perlu lagi ada ketakutan atau keraguan bahwa pinjaman tersebut haram.
"Sebaiknya pinjam paylaternya dari perusahaan fintech yang memang sudah berlabel syariah, karena berarti perusahaan tersebut sudah diawasi oleh DSN MUI melalui dewan pengawas syariah yang dimiliki," imbuhnya.
Jika tak mau memakai fasilitas itu, Andi mengatakan ada alternatif lain yang bisa dilakukan umat Muslim untuk mendapat pinjaman mendatangi perusahaan berlabel syariah yang sama mudahnya digunakan seperti paylater.
"Selain paylater juga bisa dengan pinjaman dari fintech ataupun pegadaian yang memang sudah berlabel syariah. Karena sebenarnya mau apapun produk keuangannya, bila sudah ada label syariahnya, maka kita lebih tenang karena lebih terjamin kehalalannya," jelasnya.
Sementara, Perencana Keuangan dari Tatadana Consulting Tejasari Assad mengatakan paylater sama jenisnya dengan kartu kredit yang termasuk dalam utang konsumtif dan memiliki sisi positif dan negatif.
Menguntungkan atau sangat membantu jika menggunakan paylater hanya saat keadaan darurat, misalnya membeli tiket pesawat untuk mengunjungi orang tua sakit di saat tidak pegang uang. Namun, merugikan jika digunakan untuk belanja tak penting atau liburan.
"Menurut saya, akan lebih baik kalau kita berbelanja apabila kita punya uangnya saja, jangan ngutang. Walaupun barangnya didiskon, tapi kalau kena biaya denda, bunga dan lain-lain harganya jadi bertambah," pungkasnya.
Perkembangan teknologi digital menawarkan dan memberikan banyak kemudahan dalam berbagai bidang. Termasuk untuk transaksi bisnis, jual-beli aneka komoditas dan pembayarannya yang bisa menggunakan pembayaran di belakang atau paylater.
Belakangan ini mengemuka sistem jual-beli dengan pembayaran di kemudian hari, disebut sistem paylater. Dengan cara ini, barang yang dibeli bisa dibayar setelah barang diterima, atau dengan tenggang waktu. Bahkan juga dibayar dengan cara angsuran. Syarat pengajuannya relatif mudah, sedangkan prosesnya pun cepat. Tidak ribet, tidak pula bertele-tele. Sehingga banyak warga masyarakat yang tertarik menggunakannya.
Namun sebagai Muslim saya masih kurang yakin, bahkan juga ragu hukum, tentang kebolehan bisnis dan transaksi dengan sistem Paylater ini dalam tuntunan agama.
Khusus terkait dengan fitur paylater online, Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum mengeluarkan fatwa secara khusus tentang hal tersebut. Namun, dalam Ijtima Ulama Tahun 2021, Komisi Fatwa MUI telah memutuskan bahwa pinjaman yang berbasis riba hukumnya haram.
Ketua MUI bidang Fatwa, Prof. Dr. Asrorun Niam Sholeh menegaskan layanan pinjaman baik offline maupun online yang mengandung riba, hukumnya haram, meskipun dilakukan atas dasar kerelaan. Apalagi banyak kasus menunjukkan sikap, perilaku dan tindakan perusahaan pinjaman online (pinjol) juga sangat tidak etis.
Bahkan, ada cenderung sikap keras dan kasar terhadap klien atau nasabah yang dianggap menunggak angsuran sampai pada beberapa waktu tertentu. Seperti mempermalukan klien-nasabah dengan menyebarkan data pribadi utang dan tunggakan klien-nasabah yang menunggak kepada publik melalui kontak medsos yang dimiliki klien. Juga, mengirimkan juru tagih yang berpenampilan sangar, sikap serta perilaku kasar dengan gaya preman, meneror, mengancam, dan “menakutan” bagi klien. Hal tersebut tentu berdampak lebih lanjut jadi sangat meresahkan masyarakat.
Hukum tersebut tidak hanya berlaku pada pinjol saja, tetapi juga berlaku pada seluruh layanan pinjaman baik itu offline maupun online. MUI menegaskan bahwa apabila layanan pinjaman mengandung riba, maka hukumnya adalah haram, meskipun dilakukan atas dasar kerelaan. Karena pada dasarnya, aktivitas pinjam-meminjam atau utang-piutang merupakan bentuk akad tabarru’, yakni bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan hanya untuk tujuan komersial atau sumbangan.
Sebaliknya, seluruh aktivitas layanan pinjaman baik offline maupun online hukumnya halal jika dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Sebagai umat Islam, alangkah baiknya apabila kita mampu dan memiliki cukup uang untuk dipinjamkan, kita bisa melakukannya untuk orang-orang yang sedang membutuhkan, agar mereka tidak terjerat dengan pinjaman online. Selain itu, memberikan penundaan atau keringanan dalam pembayaran utang bagi orang yang sedang mengalami kesulitan merupakan perbuatan yang dianjurkan atau mustahab.
Seperti diketahui, riba adalah istilah yang berasal dari Bahasa Arab yang berarti kelebihan atau tambahan. Dalam konteks syariat Islam, riba artinya mengerucut pada kelebihan dari pokok utang. Kelebihan dari pokok utang itulah yang membedakan riba dengan transaksi jual beli yang dikenal dengan ribhun atau laba, di mana kelebihan uang berasal dari selisih dalam jual beli.
Sederhananya, riba adalah tambahan yang disyaratkan dan diterima pemberi pinjaman sebagai imbalan dari peminjam utang. Islam sendiri sudah dengan tegas melarang umatnya melakukan transaksi jual-beli dan utang piutang yang di dalamnya terdapat riba. Larangan ini juga tertulis dalam ayat Al-Qur’an maupun hadist.
Untuk itu, umat Islam sangat disarankan untuk memilih jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah sebelum melakukan transaksi pinjam meminjam agar tidak terjerat layanan pinjaman yang merugikan. “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …” (Q.S. AlBaqarah, 2: 275).
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum Wr Wb.
Saya mengelola usaha bermitra dengan beberapa investor (pemilik modal). Akan tetapi, ada beberapa investor yang bekerja sebagai karyawan di bank konvensional dan ada juga yang pekerjaannya halal. Apakah usaha yang saya kelola itu tidak halal karena sebagian modalnya dari sumber usaha yang tidak halal? Bagaimana tuntunan syariahnya? Mohon penjelasan, Ustaz. -- Akmal, Depok
Wa’alaikumussalam Wr Wb.
Jawabannya bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut. Pertama, di antara tuntunan syariah dalam setiap investasi--baik dilakukan sendiri atau bermitra dengan pihak lain--adalah sebagai berikut.
(a) Jenis usaha yang dikelola itu halal, seperti usaha-usaha dalam bidang jual beli barang dan jasa, jasa transportasi, properti, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan, usaha yang tidak halal, seperti judi online, investasi di saham konvensional, dan investasi di usaha riil, tetapi kegiatan usahanya menjual minuman keras. (b) Ketentuan fikih dan adabnya terpenuhi. (c) Legal atau tidak bertentangan dengan regulasi terkait. (d) Memenuhi aspek risiko bisnis dan reputasi.
Kedua, ketentuan terkait investasi dengan sumber modal yang tidak halal itu tidak bisa dijelaskan langsung boleh atau tidak boleh, tetapi melihat jenis dana nonhalal tersebut. Oleh karena itu, pemilahan hukumnya bisa dijelaskan sebagai berikut. (a) Aset publik yang diperoleh secara tidak halal, seperti dana korupsi, itu tidak boleh dimanfaatkan oleh yang melakukan transaksi tidak halal atau ilegal tersebut, termasuk investasi. Jadi, dana tersebut tidak boleh dijadikan modal investasi, tetapi dikembalikan kepada otoritas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(b) Aset milik pihak lain yang diambil secara tidak halal, seperti dana/aset curian. Dana tersebut sudah jelas tidak boleh dimiliki oleh yang melakukan transaksi tidak halal atau ilegal tersebut karena harta/aset tersebut milik orang lain. Jadi, kesimpulannya dana tersebut bukan miliknya dan tidak boleh dijadikan modal investasi.
(c) Pendapatan yang tidak halal karena cara mendapatkannya tidak halal, seperti pendapatan dari hasil bekerja sebagai pegawai di tempat yang tidak halal. Jika dari pendapatannya tersebut, ia berinvestasi dan bermitra dengan pihak lain, maka bagi pihak lain/mitra karyawan tersebut itu tidak ada isu syariah. Ia halal bermitra dengan karyawan tersebut (walaupun sumber investasinya tidak halal). Walaupun bagi pengelola itu diperkenankan dan transaksinya sah, tetapi tidak berarti membenarkan usaha tidak halal si investor yang menjadi sumber modal tersebut.
Contohnya, si A menjadi pengelola usaha dengan sumber modal dari si B dan C. Si B memiliki modal berasal dari pendapatan atau gaji di tempat kerjanya yang tidak halal. Maka, bagi si A dan si C, usahanya halal walaupun sebagian modalnya bersumber dari yang tidak halal. Walaupun investasi dan usaha tersebut halal, bukan berarti membenarkan pekerjaan si B yang tidak halal.
Ketiga, di antara referensi atau dalil dari ketentuan tersebut itu adalah Rasulullah SAW pernah melakukan transaksi tidak tunai dengan non-Muslim dan memberikan baju besinya sebagai kolateral.
Hal ini sebagaimana hadis dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.” (HR Bukhari Muslim). Hal ini menunjukkan kebolehan bertransaksi dengan orang lain yang sumber pendapatannya tidak diketahui halal atau haram karena non-Muslim tidak memiliki parameter halal dan haram saat bertransaksi.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Jika ada dua pilihan hukum, maka Rasulullah SAW memilih hukum yang memudahkan selama pilihan tersebut bukan dosa.” (HR Bukhari).
Sebagaimana penegasan para ahli fikih, di antaranya, “Boleh bertransaksi dengan para pihak yang dengan sumber hartanya bercampur antara yang halal dan yang haram selama tidak diketahui komposisinya. Sebagaimana Rasulullah SAW juga bermitra dengan orang-orang Yahudi, di mana mereka (orang Yahudi) menghalalkan jual beli khamr dan bertransaksi riba.” (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, 13/178). Wallahu a’lam.